Dunia

Prancis Berupaya Keras Melakukan Repatriasi Karya Seni Afrika

Sejumlah Patung milik kerajaan Benin, di selatan Nigeria dari abad ke 16 dan 17(AFP PHOTO OLIVIER LABAN-MATTEI. )

Mercinews.com – Saat ini ada puluhan ribu karya seni Afrika di museum-museum Prancis. Hal ini menjadi tugas berat bagi para kurator untuk mencoba mengidentifikasi karya seni mana yang dijarah selama pemerintahan kolonial pada abad ke-19 dan ke-20 dan harus dikembalikan.

Selama kunjungan ke Burkina Faso pada 2017, Presiden Prancis Emmanuel Macron berjanji untuk mengembalikan ‘warisan’ Afrika ini dalam waktu lima tahun. Hal ini juga mendorong negara-negara bekas kolonial lainnya, termasuk Belgia dan Jerman, untuk melakukan inisiatif serupa.

Pada 2021, Prancis memulangkan (repatriasi) 26 benda seni milik kerajaan yang diambil tentaranya dari Benin, Nigeria, selama mereka menjajah negeri itu.

Upaya tersebut terhenti, dan pada Maret pemerintah menunda tanpa batas waktu rancangan undang-undang yang mengizinkan pengembalian artefak budaya Afrika dan lainnya, menyusul adanya perlawanan dari kelompok sayap kanan di senat.

Baca Juga:  Perjanjian Indonesia dan Prancis Pastikan Membuat Indonesia Mustahil Membeli Su-35

Museum-museum di Prancis masih mempelajari asal-usul sekitar 90 ribu benda seni Afrika dalam arsip mereka.

Sebagian besar atau 79 ribu di antaranya berada di museum Quai Branly di Paris yang menjadi tempat untuk menyimpan karya seni asli dari Afrika, Asia, Oseania, dan Amerika.

Tugas ini sangat berat tapi menggembirakan,” kata Emilie Salaberry, kepala Museum Angouleme, yang menampung sekitar 5.000 benda seni dari Afrika.

Mengidentifikasi asal suatu benda menjadi hal yang penting dalam pekerjaan kurator museum, namun melacak informasi yang diperlukan sulit dan memakan waktu.

Museum Angkatan Darat Prancis memulai inventarisasinya pada 2012 tetapi hanya mampu mempelajari sekitar seperempat dari 2.248 karya seni Afrika yang ada.

Meskipun terdapat hipotesis yang masuk akal bahwa banyak di antaranya adalah rampasan perang, namun mereka kesulitan untuk membuat kesimpulan yang pasti. “Kesulitan utama adalah kurangnya sumber,” kata juru bicara museum kepada AFP.

Baca Juga:  Pejuang Hamas Salahkan Biden atas Operasi Militer Israel di RS Al-Shifa

Emilie Giraud, presiden ICOM Prancis, yang mengawasi 600 museum, mengatakan: “Ini adalah pekerjaan investigasi nyata yang memerlukan pemeriksaan silang atas petunjuk dan menemukan sumber yang mungkin tersebar, terkadang di luar negeri, atau bahkan mungkin tidak ada sama sekali.”

Universitas Paris-Nanterre memperkenalkan kursus untuk keahlian semacam ini pada tahun 2022, dan Universitas Louvre mengikutinya pada 2023. Jerman dan Prancis meluncurkan dana tiga tahun senilai 2,1 juta euro (US$2,2 juta) untuk penelitian benda-benda seni ini pada Januari lalu.

“Kami harus transparan dalam segala hal, termasuk kekurangan dalam katalog kami,” kata Katia Kukawka, kepala kurator Museum Aquitaine. (AFP)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top