Jakarta, Mercinews.com – Retorika perang nuklir kembali disuarakan oleh Rusia. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov memperingatkan bahwa negerinya dan negara-negara Barat kini berada di ambang potensi konfrontasi nuklir.
Hal ini disebabkan dukungan negara-negara pemilik nuklir Barat seperti Amerika Serikat (AS), Prancis dan Inggris terhadap Ukraina, yang menimbulkan “risiko strategis serius” bagi negaranya. Rusia sendiri berperang dengan Ukraina sejak 2022.
Negara-negara Barat berada dalam kondisi berbahaya ketika berada di ambang bentrokan militer langsung antara kekuatan nuklir, yang penuh dengan konsekuensi bencana,” kata menteri tersebut dalam pesan video kepada para peserta Konferensi Nonproliferasi Moskow seperti dilaporkan RIA Novosti dan dimuat CNBC International, dimuat Selasa (23/4/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Yang menjadi perhatian khusus adalah kenyataan bahwa ‘troika’ negara-negara nuklir Barat adalah salah satu sponsor utama rezim kriminal di Kyiv, yang merupakan pemrakarsa utama berbagai langkah provokatif. Kami melihat adanya risiko strategis yang serius dalam hal ini, yang mengarah pada peningkatan tingkat bahaya nuklir,” jelasnya merujuk AS, Inggris dan Prancis.
Lavrov mengusulkan adanya upaya bersama untuk membangun arsitektur keamanan internasional baru. Prinsip multilateralisme, kesetaraan dan ketidakterpisahan, kata dia, menjadi dasar.
“Hanya dengan cara inilah tingkat konflik antarnegara dapat dikurangi dan kemajuan nyata di bidang pengendalian senjata dapat dipastikan,” tambah Lavrov.
Rusia berulang kali menggambarkan Kyiv sebagai rezim “kriminal” untuk mendiskreditkan dan mendelegitimasi pemerintah Presiden Volodymyr Zelensky. Ini juga yang mendasari sebab Moskow menyerang negara itu sejak 24 Februari 2022.
Pada saat itu, Presiden Rusia Vladimir Putin berniat untuk mengambil wilayah Donetsk dan Luhansk yang sebelumnya dikendalikan Ukraina. Ini untuk membebaskan masyarakat etnis Rusia yang disebutnya mengalami persekusi dari kelompok ultra nasionalis Ukraina.
Selain itu, Putin beralasan bahwa serangan didasarkan pada niatan Kyiv untuk bergabung dengan aliansi militer Barat pimpinan AS, NATO, yang notabenenya merupakan rival dari Moskow. Itu diyakini bisa membahayakan Rusia.
“Helikopter Duit” Rp 989 T
Di sisi lain, kelompok Barat terus memberikan dukungan bagi Ukraina dalam bentuk senjata dan pendanaan. Sabtu, DPR AS menyetujui paket bantuan senilai US$ 61 miliar (Rp 989 triliun) untuk Ukraina berperang melawan Rusia.
Ini bagian dari anggaran senilai US$ 95 miliar (sekitar Rp 1.500 triliun), yang termasuk pulabantuan keamanan ke Israel dan Taiwan. Ketok palu dilakukan bersama dengan RUU lain yang memaksa perusahaan China ByteDance untuk menjual Tiktok.
Meski demikian paket tersebut akan dikirimkan terlebih dahulu ke Senat AS untuk disetujui. Paman Sam menganut sistem “dua kamar” di mana RUU harus disetujui baik DPR maupun Senat sebelum ditandatangani menjadi UU oleh Presiden AS.
“RUU bantuan penting AS yang disahkan oleh DPR akan mencegah perang meluas, menyelamatkan ribuan nyawa dan membantu kedua negara menjadi lebih kuat,” kata Zelensky.
Hal ini mendapat tanggapan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova. Ia mengatakan bahwa bantuan itu merupakan pemicu perang hibrida terhadap Moskow.
“Persetujuan paket bantuan besar untuk Ukraina oleh Dewan Perwakilan Rakyat AS sama dengan mendanai terorisme,” ujarnya dikutip Russia Today (RT).
“AS pada akhirnya akan menghadapi kegagalan besar dan memalukan yang setara dengan Vietnam atau Afghanistan,” tegasnya.
Zakharova menambahkan bahwa dana bantuan ini akan memompa aksi teroris terhadap objek-objek sipil di wilayah kedaulatan Rusia. Menurutnya, ini akan terus memperburuk perang antara pihaknya dan Kyiv.
“Rakyat biasa Ukraina dipaksa untuk dibantai sebagai umpan meriam dan Washington tidak lagi bertaruh pada kemenangan Ukraina melawan Rusia, namun berharap untuk menjaga Kiev tetap bertahan hingga pemilihan presiden AS pada bulan November,” katanya.
Lebih lanjut, Zakharova mengomentari bahwa potensi alokasi bantuan militer akan memperburuk krisis di dunia. Dana ke Taiwan ia sebut sebagai “campur tangan dalam urusan dalam negeri China” sementara bantuan yang dikirim ke Israel adalah jalan langsung menuju eskalasi konflik yang belum pernah terjadi sebelumnya di wilayah Timur Tengah. []