“Isu perempuan bukan sekadar tambahan dalam narasi sejarah, tetapi bagian esensial dari perjalanan bangsa. Kami bahkan membuka ruang diskusi publik agar berbagai perspektif, termasuk dari komunitas perempuan dan akademisi, bisa turut memberi masukan.”
JAKARTA, MERCINEWS.COM – Menteri Kebudayaan (Menbud) RI, Fadli Zon, menegaskan bahwa negara tidak menafikan peran perempuan dalam sejarah nasional. Menanggapi kritik terhadap buku Sejarah Indonesia yang dinilai mengabaikan kontribusi perempuan, Fadli menyebut bahwa penyusunan buku terbaru justru secara aktif mengakomodasi keterlibatan perempuan dari berbagai aspek kehidupan berbangsa, mulai dari era kebangkitan nasional hingga pembangunan berkelanjutan.
“Narasi sejarah harus merepresentasikan realitas sosial-politik secara adil dan inklusif. Kami menekankan bahwa peran perempuan tidak hanya tercatat, tetapi juga diberi porsi yang signifikan dalam struktur sejarah nasional. Ini mencakup peran mereka dalam gerakan kemerdekaan, diplomasi, militer, organisasi masyarakat, hingga perjuangan hak-hak perempuan,” ujarnya dalam pernyataan resmi, Senin (16/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fadli juga menanggapi isu sensitif terkait kekerasan seksual dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk istilah ‘perkosaan massal’ yang selama ini menjadi kontroversi. Ia menekankan pentingnya pendekatan berbasis data dan kehati-hatian dalam penggunaan istilah yang mengandung implikasi luas terhadap martabat bangsa.
“Segala bentuk kekerasan terhadap perempuan harus dikutuk. Namun dalam konteks sejarah, kita perlu berpegang pada fakta yang terverifikasi secara hukum dan akademik. Laporan investigatif maupun Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kala itu belum mampu menyajikan data konklusif terkait skala dan rincian peristiwa tersebut. Karena itu, penggunaan istilah ‘massal’ perlu kehati-hatian,” papar Fadli.
Ia menambahkan bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk menghapus penderitaan korban, melainkan untuk menekankan pentingnya integritas dalam penulisan sejarah.
“Ini soal kejujuran akademik dan tanggung jawab narasi. Kita harus membedakan antara empati terhadap korban dan penyusunan narasi sejarah yang harus berdasarkan bukti yang kuat,” katanya.
Isu Perempuan
Lebih lanjut, Fadli menegaskan bahwa dalam edisi terbaru buku Sejarah Indonesia, isu-isu perempuan telah dimasukkan secara substansial. Di antaranya pembahasan tentang Kongres Perempuan 1928, kontribusi perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, gerakan kesetaraan gender, serta advokasi terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
“Isu perempuan bukan sekadar tambahan dalam narasi sejarah, tetapi bagian esensial dari perjalanan bangsa. Kami bahkan membuka ruang diskusi publik agar berbagai perspektif, termasuk dari komunitas perempuan dan akademisi, bisa turut memberi masukan,” jelas Fadli.
Ia juga menyampaikan bahwa Kementerian Kebudayaan akan terus menggelar forum-forum terbuka dalam proses penyusunan sejarah agar partisipasi publik semakin luas dan akuntabel.
“Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang keberanian kita membangun masa depan yang berkeadilan, berempati, dan bermartabat,” pungkasnya.(red)





