“Masalahnya bukan hanya kurangnya regulasi, tetapi lemahnya internalisasi nilai kemanusiaan, hilangnya otoritas moral pendidik, dan minimnya dukungan sosial bagi guru serta korban kekerasan.”
Jakarta, Mercinews.com – Praktisi hukum Didi Jubaidi, S.H., M.H., menilai kasus kekerasan terhadap guru di sekolah hingga perundungan mahasiswa mencerminkan krisis karakter yang serius di dunia pendidikan Indonesia. Menurutnya, sekolah dan kampus seharusnya menjadi benteng moral bangsa, bukan sekadar tempat mentransfer pengetahuan, namun kenyataannya banyak lembaga pendidikan gagal menanamkan nilai moral, empati, dan rasa hormat.
“Pendidikan seharusnya membentuk kepribadian, bukan hanya mengajarkan pengetahuan. Namun banyak lembaga pendidikan terjebak dalam rutinitas akademik tanpa menumbuhkan nilai moral dan empati,” ujar Didi, dalam keterangannya, Senin (20/10/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Didi menyebut, kasus-kasus tersebut menunjukkan sejumlah gejala krisis karakter, termasuk erosi rasa hormat terhadap guru, egosentrisme dan intoleransi terhadap koreksi, minimnya empati sosial, serta dominasi nilai material dan instan. “Ini bukan sekadar persoalan moral individu, tetapi juga kegagalan ekosistem pendidikan dalam menanamkan nilai Pancasila dan budi pekerti sebagai fondasi peradaban bangsa,” tambahnya.
Praktisi hukum itu menyoroti peran orang tua, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial sebagai pilar pembentukan karakter. Banyak orang tua terlalu fokus pada capaian akademik dan fasilitas, namun lalai menanamkan nilai hormat, tanggung jawab, dan empati. Kasus di Banten, di mana orang tua melaporkan kepala sekolah karena anaknya ditegur, menurut Didi, menunjukkan pergeseran paradigma dari pendidikan berbasis nilai menjadi pendidikan berbasis pembelaan ego.
Di sisi lain, banyak sekolah dan kampus belum memiliki sistem pembinaan karakter yang sistematis. Pendidikan karakter kerap hanya dijadikan slogan tanpa implementasi nyata. Penegakan disiplin dianggap tidak populer sehingga lembaga pendidikan enggan bersikap tegas. Di tingkat perguruan tinggi, budaya permisif terhadap bullying, senioritas, dan agresi digital masih marak, sementara mekanisme perlindungan dan konseling bagi mahasiswa lemah.
Budaya Media Sosial
Lingkungan sosial dan media digital juga memperburuk krisis karakter. Budaya media sosial yang agresif dan dangkal membuat empati menurun. Interaksi sosial bergeser dari tatap muka menjadi layar ke layar, sementara konten sarkastik dan budaya saling mempermalukan menjadi hal yang biasa.
Dari sisi hukum, Didi menilai kerangka regulasi sebenarnya cukup lengkap. Perlindungan guru diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005 dan Permendikbud No. 10 Tahun 2017, sedangkan perlindungan siswa dan mahasiswa tercantum dalam Permendikbud No. 82 Tahun 2015, UU Perlindungan Anak, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Perlindungan di dunia maya diatur dalam UU ITE.
“Masalahnya, perlindungan hukum sering bersifat administratif. Tidak ada mekanisme cepat dan tegas ketika guru diserang atau korban perundungan tidak mendapat pendampingan memadai,” ujar Didi.
Ia menekankan perlunya koordinasi lintas lembaga, mulai dari Kemendikbud, Kemenag, Polri, Komnas HAM, hingga Komnas Perlindungan Anak, agar penegakan hukum di lingkungan pendidikan lebih efektif.
Simbolis
Menurut Didi, pendidikan karakter di Indonesia masih bersifat simbolis. Nilai moral hanya diajarkan secara kognitif, tanpa dibiasakan dalam perilaku nyata. Pendidikan karakter sejati, kata dia, membutuhkan keteladanan dari guru, dosen, dan pemimpin institusi; konsistensi nilai antara rumah, sekolah, dan masyarakat; serta pembiasaan sosial yang berulang sehingga membentuk habitus moral, bukan sekadar slogan.
“Tiga peristiwa yang mencuat, guru diserang siswa, orang tua melaporkan kepala sekolah, dan mahasiswa yang dibully bahkan setelah wafat menggambarkan rapuhnya ekosistem moral pendidikan nasional. Masalahnya bukan hanya kurangnya regulasi, tetapi lemahnya internalisasi nilai kemanusiaan, hilangnya otoritas moral pendidik, dan minimnya dukungan sosial bagi guru serta korban kekerasan,” ungkap Didi yang juga Dosen Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (UTA’45) Jakarta dan Universitas Tama Jagakarsa.(red)






