“Bagi saya, menulis buku adalah kepuasan. Ilmuwan tidak diukur dari banyaknya harta, melainkan dari seberapa banyak buku yang ia hasilkan.”
JAKARTA, MERCINEWS.COM – Bagi Prof. Dr. Suhandi Cahaya, S.H., M.H., M.B.A., menulis bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan warisan abadi yang ditinggalkan seorang ilmuwan. Prinsip itu ia wujudkan melalui konsistensi membaca dan menulis selama lebih dari dua dekade, hingga melahirkan 82 buku ilmiah yang banyak membahas hukum dan problematika sosial bangsa.
Selain dikenal sebagai advokat senior dan profesor hukum, Prof. Suhandi Cahaya juga pernah berkiprah sebagai akademisi di Perpetual Help of Philippines Manila. Pengalaman akademis lintas negara itulah yang memperkaya sudut pandangnya dalam menulis dan menyusun berbagai karya ilmiah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Bagi saya, menulis buku adalah kepuasan. Ilmuwan tidak diukur dari banyaknya harta, melainkan dari seberapa banyak buku yang ia hasilkan,” ujar Suhandi di ruang kerjanya yang dipenuhi ribuan koleksi buku, Selasa (9/9).
Rutinitas membaca setidaknya 40 halaman per hari menjadi kunci produktivitasnya. Dari kebiasaan tersebut lahirlah puluhan artikel di berbagai media serta karya monumental berupa buku. Menurutnya, setiap judul yang ditulis lahir dari inspirasi dan pemahaman atas situasi yang berkembang.
“Judul menentukan kualitas. Karena itu, untuk menemukan judul yang tepat, saya harus banyak membaca dan memahami keadaan,” jelas lulusan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang itu.
Dari total 82 buku yang telah diterbitkan, sebagian ditulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Tema karyanya beragam, mulai dari teori hukum, kriminologi, asas penyelenggaraan negara, hingga kumpulan artikel mengenai tindak pidana korupsi.
Ia menegaskan, setiap karya lahir dari komitmen akademik, bukan untuk menyerang pihak tertentu.
“Saya menulis bukan untuk menyerang siapa pun, tetapi murni demi hukum,” tegasnya.
Meski produktif, perjalanan menulis tidak selalu mudah. Proses penyusunan satu buku bisa memakan waktu tiga hingga empat bulan. Ketika menghadapi kebuntuan, Suhandi memilih untuk berserah diri kepada Tuhan. “Hanya Tuhan yang tidak bisa disogok, sementara manusia bisa,” ujarnya.
Kecintaannya terhadap dunia literasi juga membuatnya prihatin dengan rendahnya minat baca di Indonesia. Ia menilai, tingkat minat baca nasional belum mencapai 1 persen, kondisi yang menurutnya sangat memprihatinkan.
Karena itu, ia berpesan kepada generasi muda agar membiasakan diri membaca dan menjadikan buku sebagai sumber pengetahuan utama.
“Jangan pernah merasa hebat jika tidak pernah membaca buku,” pesannya.
Meski telah sukses membangun karier hukum dengan nama besar dan kehidupan mapan, Suhandi menempatkan ilmu pengetahuan sebagai warisan paling berharga. Baginya, buku adalah cermin kepribadian sekaligus rekam jejak intelektual seorang ilmuwan.
“Menulis adalah kewajiban moral bagi seorang profesor. Kepuasan itu tidak bisa dibeli dengan uang,” pungkas pakar hukum pidana yang kerap diminta menjadi ahli tersebut.(red)