Prabowo, Indonesia dan Neoliberalisme

Jumat, 8 Agustus 2025 - 09:24 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Prof. Yudhie Haryono, Ph.D (Foto: Dok.Pribadi)

Prof. Yudhie Haryono, Ph.D (Foto: Dok.Pribadi)

Oleh Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan)

Dengan penuh keyakinan, Presiden Prabowo mengatakan dirinya tidak setuju dengan ekonomi neoliberalisme. Pasalnya, orang-orang kaya dalam mazhab neoliberalis tidak meneteskan kekayaannya ke rakyat kelas bawah (23/07/2025).

Tanpa menetes ke bawah, maka tingkat ketimpangan di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2025, yang diukur dengan Gini Ratio, adalah sebesar 0,375. Tentu ini melawan mandat konstitusi yang menyebut: negara menyejahterakan seluruh warga negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Prabowo anti-neoliberal ini merupakan tesis yang terus diulang, dikampanyekan, disampaikan, dituliskan, dan didengungkan. Sayangnya, tanpa realisasi di “agensi.” Mengapa? Praktis semua ekonom yang dipilih untuk membantunya di kabinet bermazhab neoliberal. Tentu dengan Sri Mulyani sebagai nakhoda utama.

Selama menjadi Menkeu, kebijakan utamanya hanya “6 i”, yaitu: investasi (asing), intervensi, infiltrasi, inefisiensi, instabilisasi, dan invasi. Tentu program ini menghasilkan “6 d” yang signifikan, yaitu: deindonesianisasi, denasionalisasi, derasionalisasi, demoralisasi, deinovasi teknologi, dan deindustrialisasi.

Baca Juga:  Saatnya Presiden Prabowo Evaluasi Ulang Kabinet Demi Pemerintahan Bebas KKN

Kemudian, apa bukti terbaiknya? Indonesia panen koruptor dan tertradisinya KKN di semua lini; kita eksportir bahan mentah serta importir bahan jadi.

Para neolibertarian memang hobi membuat keputusan dahsyat untuk memastikan akses yang tidak merata terhadap pendidikan, kesehatan, permodalan, lapangan pekerjaan, serta hukum dan hak asasi manusia (HAM). Saat bersamaan, banyak kebijakannya tidak berpihak pada warga negara miskin, bodoh, dan cacat.

Akibatnya, setelah lebih dari 50 tahun kita dicengkeram oleh agensi dan kelembagaan serta pikiran neoliberalisme, warga negara kita terpola menjadi tiga:
(1) kelas atas: berperilaku KKN;
(2) kelas menengah: berperilaku nyinyir;
(3) kelas bawah: berperilaku mengeluh.

Hal itu dikuatkan oleh hadirnya potret warga negara yang “3 d” yaitu: distrust, disorder, dan disobedient. Distrust society adalah kondisi warga negara tidak saling percaya terhadap sesama dan institusi pemerintah. Ini terjadi karena adanya budaya korupsi, ketidakadilan hukum, kurangnya transparansi, dan tradisi pengkhianatan elite pemimpin.

Baca Juga:  Kedaulatan Rakyat di Persimpangan Jalan: Mengapa Demokrasi Kita Perlu Diselamatkan dari Oligarki Politik?

Sementara disorder society adalah kondisi kekacauan dalam sistem berwarga negara: baik sistem biologis, psikologis, ataupun ipoleksosbudhankam. Ini adalah gangguan mental yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku warga negara. Mereka cemas, depresi, stres, bahkan bipolar akibat negara yang superburuk kondisinya.

Sedangkan disobedient society adalah kondisi tindakan yang tidak mematuhi aturan, perintah, atau norma yang berlaku. Warga negara menolak mengikuti instruksi dan aturan yang ada, bahkan melawan. Inilah fondasi chaos dan revolusi.

Jelasnya, kita menerima kutuk takdir berupa defisit negarawan yang memberi keteladanan; minus ilmuwan yang memberi solusi; raib bangsawan yang zakat kebajikan. Ini benar-benar potret buram bangsa menuju gelapnya peradaban.

Bagaimana mengatasinya? Segerakan pendidikan keindonesiaan yang isinya ipoleksosbudhankam Pancasila. Tetapi ingat, menyusun barisan itu dari perasaan, pikiran, ucapan, tulisan, dan tindakan adalah getar keabadian. Getir yang menggelisahkan.

Baca Juga:  KUHAP Baru Harus Memberikan Penguatan dan Wewenang Advokat

Walaupun juga jihad yang menyenangkan karena “jalan bersama” kaum fakir miskin di republik yang makin mangkir dari laksa konstitusi. Singkatnya, ini perang kejeniusan yang tak banyak orang mau terlibat. Jika menang, baru mereka akan mengklaim dan ikut, bahkan menelikung. Jika kalah, mereka tertawa dan bertepuk tangan.

Dus, akan ada banyak kisah, dongeng, curhat, gugatan, dan keseriusan yang layak dikenang serta diabadikan. Karenanya, siapkan ruang dalam kebersamaan revolusi ini, dan biarkan angin beliung menari di antara kita. Sebab, revolusi tidak memberikan apa pun kecuali dirinya sendiri, dan tidak mengambil apa pun kecuali dari dirinya sendiri.

*Penulis adalah Yudhie Haryono, Presidium Forum Negarawan.


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan opini pribadi Yudhie Haryono, Presidium Forum Negarawan. Pandangan dalam artikel ini tidak mencerminkan sikap atau kebijakan redaksi.

Berita Terkait

Putusan MK, Ingatkan Polri Gunakan Manajemen Talenta
Reformasi Polri: Mungkinkah Kapolri Bukan Polisi Karier?
Smart Governance, Sebuah Keniscayaan untuk Indonesia
Audit Konstitusional Proyek KCIC: Membangun atau Menjerat Kedaulatan Ekonomi?
Transaksi Kendaraan Bekas Kena PPN, Begini Cara Menghitungnya
Mengutip Tak Lagi Gratis: Menuju Era Royalti Karya Jurnalistik
Pajak Instansi Pemerintah, Hal Krusial yang Wajib Bendahara Kuasai
Integritas ASN Kejaksaan: Landasan Utama Membangun Keputusan Publik

Berita Terkait

Minggu, 16 November 2025 - 13:20 WIB

Putusan MK, Ingatkan Polri Gunakan Manajemen Talenta

Rabu, 12 November 2025 - 10:58 WIB

Reformasi Polri: Mungkinkah Kapolri Bukan Polisi Karier?

Selasa, 11 November 2025 - 09:47 WIB

Smart Governance, Sebuah Keniscayaan untuk Indonesia

Kamis, 23 Oktober 2025 - 09:51 WIB

Audit Konstitusional Proyek KCIC: Membangun atau Menjerat Kedaulatan Ekonomi?

Senin, 13 Oktober 2025 - 19:46 WIB

Transaksi Kendaraan Bekas Kena PPN, Begini Cara Menghitungnya

Berita Terbaru

Dr. M. Harry Mulya Zein.(Foto: Mercinews.com)

Opini

Putusan MK, Ingatkan Polri Gunakan Manajemen Talenta

Minggu, 16 Nov 2025 - 13:20 WIB