“Langkah kecil, tapi penting. Ini cara memanusiakan mereka. Nakes bukan mesin yang bisa terus bekerja tanpa jeda.”
JAKARTA, MERCINEWS.COM – Burnout tenaga kesehatan (nakes) atau kelelahan ekstrem pada tenaga kesehatan kini menjadi perhatian serius dalam dunia layanan kesehatan di Indonesia. Pemerhati kesehatan Hadi Filino Gunarto menegaskan bahwa kondisi ini bukan hanya soal kelelahan fisik, tetapi juga krisis mental dan emosional yang berisiko terhadap keselamatan pasien.
“Burnout nakes bukan sekadar lelah. Ini alarm serius. Mereka yang merawat juga harus dirawat. Jangan biarkan mereka hanya jadi mesin,” ujar Hadi, dalam keterangan tertulis, Selasa (22/7/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hadi menggambarkan beratnya tekanan kerja yang dialami nakes, khususnya di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Situasi darurat dengan puluhan pasien keracunan atau korban kecelakaan yang datang bersamaan memaksa tenaga medis bekerja nyaris tanpa jeda.
“Dalam tujuh jam nonstop, mereka dituntut sigap tanpa celah kesalahan. Ini kondisi yang sangat menguras fisik dan mental,” jelas Pengurus Yayasan Komunikasi Literasi Kesehatan Masyarakat yang pernaha menjadi mantan CEO PT Pindad Medika Utama itu.
Hadi juga menyoroti hasil riset WHO dan studi di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo yang menyebut burnout meningkatkan risiko kesalahan medis. Beban kerja berlebih, minimnya waktu istirahat, dan kurangnya dukungan sosial menjadi faktor pemicu utama.
Menurut Hadi, solusi sederhana seperti menjaga work-life balance dapat membantu menekan tingkat burnout. Di rumah sakit yang pernah ia pimpin, kegiatan seperti olahraga bersama, pengajian, dan berkumpul santai di kantin dilakukan rutin untuk menjaga kesehatan mental staf.
“Langkah kecil, tapi penting. Ini cara memanusiakan mereka. Nakes bukan mesin yang bisa terus bekerja tanpa jeda,” tegas Hadi.
Laporan Kemenkes
Namun, ia menyayangkan masih banyak rumah sakit yang belum memiliki sistem pendukung kesehatan mental bagi tenaga medis. Laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2023 mencatat lebih dari 35 persen nakes mengalami tekanan psikologis selama dan pasca-pandemi. Perawat muda dan tenaga kontrak menjadi kelompok paling rentan.
Hadi menekankan pentingnya kepemimpinan transformasional di rumah sakit, yaitu pemimpin yang peka, empatik, dan mampu mendeteksi kelelahan di timnya.
“Pemimpin yang hanya fokus pada target akan memperburuk keadaan. Pemimpin yang mendengarkan dan menguatkan justru bisa menurunkan burnout secara signifikan,” tambahnya.
Ia mengingatkan bahwa ketahanan sistem kesehatan bergantung pada kesejahteraan manusia yang menjalankannya.
“Bukan soal insentif atau promosi saja, tapi perhatian tulus. Karena kekuatan sistem kesehatan ada pada manusia yang cukup kuat untuk terus peduli,” pungkasnya.(red)






