Mercinews.com – Kecelakaan pesawat Jeju Air pada Minggu (29/12/2024) yang menewaskan 179 orang tercatat sebagai insiden pesawat udara paling mematikan yang pernah terjadi di Korea Selatan dalam 27 tahun silam.
Mengutip Reuters pada Senin (30/12/2024) pesawat yang dioperasikan oleh Jeju Air itu mendarat dengan posisi terbalik dan tergelincir dari ujung landasan pacu, meletus menjadi bola api saat menghantam dinding di Bandara Internasional Muan.
Pesawat tersebut tiba dari ibu kota Thailand Bangkok dengan 175 penumpang dan enam awak di dalamnya, mencoba mendarat tak lama setelah pukul 9 pagi waktu setempat di bandara di bagian selatan negara itu, kata Kementerian Perhubungan Korea Selatan. Dua awak pesawat selamat dan tengah dirawat karena luka-luka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kecelakaan itu merupakan yang terburuk bagi maskapai penerbangan Korea Selatan sejak kecelakaan Korean Air di Guam tahun 1997 yang menewaskan lebih dari 200 orang, menurut data Kementerian Perhubungan. Kecelakaan terburuk sebelumnya di wilayah Korea Selatan adalah kecelakaan Air China yang menewaskan 129 orang pada tahun 2002
Pesawat Boeing 737-800 bermesin ganda itu terlihat dalam video media lokal meluncur di landasan tanpa roda pendaratan yang terlihat sebelum menabrak peralatan navigasi dan dinding dalam ledakan api dan puing-puing. “Hanya bagian ekornya yang masih sedikit bentuknya, dan bagian lainnya (pesawat) tampak hampir mustahil dikenali,” kata kepala pemadam kebakaran Muan Lee Jung-hyun dalam jumpa pers.
Kedua awak pesawat, seorang pria dan seorang wanita, diselamatkan dari bagian ekor pesawat yang terbakar, kata Lee. Mereka dirawat di rumah sakit dengan luka sedang hingga parah, kata kepala pusat kesehatan masyarakat setempat. Penyelidik sedang memeriksa kemungkinan faktor tabrakan burung dan kondisi cuaca, kata Lee. Sementara itu, Kantor berita Yonhap yang mengutip pernyataan otoritas bandara menyebut, tabrakan tersebut mungkin menyebabkan roda pendaratan tidak berfungsi. Para ahli mengatakan laporan tabrakan burung dan cara pesawat itu mencoba mendarat menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
“Pada titik ini, ada lebih banyak pertanyaan daripada jawaban yang kita miliki. Mengapa pesawat itu melaju begitu cepat? Mengapa sayapnya tidak terbuka? Mengapa roda pendaratan tidak diturunkan?,” kata Gregory Alegi, seorang ahli penerbangan dan mantan guru di akademi angkatan udara Italia. Berdasarkan peraturan penerbangan global, Korea Selatan akan memimpin penyelidikan sipil atas kecelakaan itu dan secara otomatis melibatkan Badan Keselamatan Transportasi Nasional (NTSB) di Amerika Serikat tempat pesawat itu dirancang dan dibangun.
NTSB kemudian mengatakan bahwa mereka memimpin tim penyelidik AS untuk membantu otoritas penerbangan Korea Selatan. Boeing dan Administrasi Penerbangan Federal juga ikut ambil bagian.
Minta Maaf
Sementara itu, CEO Jeju Air Kim E-bae meminta maaf atas kecelakaan tersebut, membungkuk dalam-dalam selama pengarahan yang disiarkan televisi. Dia mengatakan pesawat itu tidak memiliki catatan kecelakaan dan tidak ada tanda-tanda awal kerusakan. Kim menyebut, pihaknya akan bekerja sama dengan para penyelidik dan menjadikan dukungan bagi yang berduka sebagai prioritas utama. Tidak ada kondisi abnormal yang dilaporkan ketika pesawat meninggalkan Bandara Suvarnabhumi Bangkok, kata Kerati Kijmanawat, presiden Airports of Thailand. Penumpangnya termasuk dua warga negara Thailand dan sisanya diyakini warga Korea Selatan, menurut kementerian transportasi.
Insiden ini adalah kecelakan penerbangan fatal pertama bagi Jeju Air, maskapai penerbangan berbiaya rendah yang didirikan pada tahun 2005 yang berada di bawah Korean Air Lines dan Asiana Airlines sebagai maskapai penerbangan terbesar ketiga di negara itu berdasarkan jumlah penumpang. Kecelakaan itu terjadi hanya tiga minggu setelah Jeju Air memulai penerbangan reguler dari Muan ke Bangkok dan kota-kota Asia lainnya pada 8 Desember. Bandara Internasional Muan adalah salah satu bandara terkecil di Korea Selatan, tetapi telah menjadi jauh lebih sibuk dalam beberapa tahun terakhir. Semua penerbangan domestik dan internasional di bandara tersebut dibatalkan setelah kecelakaan itu, Yonhap melaporkan.
Pejabat Presiden Korea Selatan Choi Sang-mok, yang ditunjuk sebagai pemimpin sementara negara itu pada hari Jumat di tengah krisis politik yang sedang berlangsung, tiba di lokasi kecelakaan dan mengatakan pemerintah mengerahkan semua sumber dayanya untuk menangani kecelakaan itu. Dua wanita Thailand berada di dalam pesawat itu, berusia 22 dan 45 tahun, kata juru bicara pemerintah Thailand Jirayu Houngsub. Kementerian luar negeri Thailand kemudian mengonfirmasi bahwa keduanya termasuk di antara mereka yang tewas. Kedutaan besar di Seoul berkoordinasi dengan pihak Korea Selatan dan mengatur agar anggota keluarga dapat melakukan perjalanan dari Thailand, kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.
Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban tewas dan luka-luka dalam sebuah posting di X, dengan mengatakan bahwa dia telah menginstruksikan kementerian luar negeri untuk memberikan bantuan.
Duka Keluarga Korban
Beberapa jam setelah kecelakaan, anggota keluarga berkumpul di area kedatangan bandara, beberapa menangis dan berpelukan saat relawan Palang Merah membagikan selimut. Banyak korban tampaknya adalah penduduk daerah sekitar yang baru kembali dari liburan, kata pejabat. Anggota keluarga berteriak dan menangis saat seorang petugas medis mengumumkan nama-nama korban yang diidentifikasi berdasarkan sidik jari mereka. Seorang kerabat berdiri di depan mikrofon untuk meminta informasi lebih lanjut dari pihak berwenang. “Kakak laki-laki saya meninggal dan saya tidak tahu apa yang terjadi,” katanya.
Kendaraan jenazah berbaris di luar untuk membawa jenazah, dan pihak berwenang mengatakan kamar mayat sementara telah didirikan.
Seorang pejabat kementerian transportasi mengatakan menara pengawas telah mengeluarkan peringatan serangan burung dan tak lama setelah itu pilot mengumumkan mayday dan kemudian mencoba mendarat dari arah yang berlawanan dengan kedatangan pesawat. Kantor berita News1 melaporkan, seorang penumpang mengirim pesan singkat kepada seorang kerabatnya untuk mengatakan bahwa ada burung yang tersangkut di sayap pesawat. Pesan terakhir orang tersebut adalah, “Haruskah saya mengucapkan kata-kata terakhir saya?”
Jeon Je-young, ayah seorang wanita berusia 71 tahun di dalam pesawat, memutar dan memutar ulang video kecelakaan tersebut. “Ketika saya melihat video kecelakaan tersebut, pesawat tampak tidak terkendali. Pilot mungkin tidak punya pilihan selain melakukannya. Putri saya, yang baru berusia pertengahan 40-an, berakhir seperti ini. Ini tidak dapat dipercaya,” katanya. “Dia hampir sampai di rumah.” Model Boeing yang terlibat dalam kecelakaan tersebut, 737-800, adalah salah satu pesawat paling banyak diterbangkan di dunia dengan catatan keselamatan yang secara umum baik. Pesawat ini dikembangkan jauh sebelum varian MAX yang terlibat dalam krisis keselamatan Boeing baru-baru ini.
Kementerian Perhubungan Korea Selatan menuturkan, pesawat yang tatuh tersebut diproduksi pada tahun 2009. Adapun, Kedua mesin CFM56-7B26 diproduksi oleh CFM International, sebuah usaha patungan antara GE Aerospace dan Safran dari Prancis kata kementerian transportasi Boeing mengatakan dalam pernyataan melalui email bahhwa pihaknya sedang menghubungi Jeju Air terkait penerbangan 2216 dan siap untuk mendukung maskapai tersebut. “Kami menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga yang kehilangan orang terkasih, dan pikiran kami tetap bersama para penumpang dan awak,” kata Boeing.
Seorang juru bicara CFM mengatakan, “Kami sangat sedih atas hilangnya penerbangan Jeju Air 2216. Kami menyampaikan simpati yang tulus kepada keluarga dan orang-orang terkasih dari mereka yang berada di dalam pesawat.” (*)