“Penyadapan adalah alat yang sangat sensitif dan bisa menjadi pisau bermata dua. Bila disalahgunakan oleh oknum jaksa yang tidak bertanggung jawab, dampaknya bukan hanya pada korban, tapi juga bisa merusak kepercayaan publik terhadap hukum.”
JAKARTA, MERCINEWS.COM – Praktisi hukum senior, Alexius Tantrajaya, menyatakan keberatannya terhadap rencana pemberian kewenangan penyadapan kepada institusi Kejaksaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Ia menilai, pemberian kewenangan tersebut sangat berisiko disalahgunakan dan belum tepat diberikan dalam kondisi saat ini.
“Penyadapan adalah alat yang sangat sensitif dan bisa menjadi pisau bermata dua. Bila disalahgunakan oleh oknum jaksa yang tidak bertanggung jawab, dampaknya bukan hanya pada korban, tapi juga bisa merusak kepercayaan publik terhadap hukum,” ujar Alexius kepada wartawan, Jumat (11/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alexius menyoroti kasus konkret yang menunjukkan potensi penyimpangan di tubuh Kejaksaan, yakni kasus penggelapan barang bukti senilai Rp11,7 miliar dari perkara investasi ilegal Robot Trading.
Dalam kasus itu, mantan Jaksa Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Azam Akhmad Akhsya, terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman 7 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Vonis tersebut lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang hanya menuntut 4 tahun penjara.
“Kasus itu memperlihatkan bahwa bahkan dalam hal penegakan hukum internal, Kejaksaan belum menunjukkan ketegasan maksimal. Kalau pelanggaran berat seperti penggelapan barang bukti saja hanya dituntut 4 tahun, lalu hakim yang harus memperberat, bagaimana kita bisa mempercayakan wewenang penyadapan kepada institusi yang sama?” kritik Alexius.
Ia menilai, masih banyak oknum di lingkungan Kejaksaan yang bisa menyalahgunakan alat penyadapan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, terutama jika mekanisme pengawasan internal belum kuat. Oleh karena itu, Alexius menegaskan bahwa pemberian kewenangan penyadapan kepada Kejaksaan dalam RKUHAP sebaiknya ditiadakan.
Menurutnya, sebelum diberikan kewenangan baru, Kejaksaan harus terlebih dahulu membersihkan institusinya dari jaksa-jaksa bermasalah serta memulihkan kepercayaan masyarakat.
Ia juga mendesak agar Kejaksaan menindak secara tegas dan tanpa kompromi terhadap semua pihak yang diduga terlibat dalam kasus penggelapan barang bukti, sebagaimana terurai dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Azam.
“Kita butuh lembaga hukum yang bersih dan kredibel. Jika lembaga tersebut belum bisa memberikan jaminan integritas dari dalam, maka tak pantas diberi alat kekuasaan tambahan yang rawan disalahgunakan,” tutup Alexius.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan bahwa fungsi penyadapan dilakukan secara profesional dalam konteks penegakan hukum. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa penyadapan bukan dilakukan sembarangan atau untuk melanggar privasi masyarakat.
“Jadi, tidak sembarang ya,” kata Harli dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (26/6/2025).
Ia menjelaskan bahwa penyadapan dilakukan melalui fungsi intelijen yang dimiliki Kejaksaan dalam rangka mendukung tugas penegakan hukum secara menyeluruh.
Pernyataan tersebut disampaikan menyusul kerja sama Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM-Intel) Kejaksaan Agung dengan sejumlah penyedia layanan telekomunikasi seperti PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT XL Smart Telecom Sejahtera Tbk. Kerja sama ini bertujuan memperkuat pertukaran dan pemanfaatan informasi untuk kepentingan intelijen hukum.
“Ini murni karena dalam konteks penegakan hukum, perlu ada fungsi yang bisa mendukung dan membantu itu, sehingga perlu dikerjasamakan,” ujar Harli.(red)