Brussel, Mercinews.com – Pada hari Kamis, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, terpilih kembali untuk masa jabatan lima tahun yang baru, sebagai berikut dari hasil pemungutan suara para deputi pertemuan baru Parlemen Eropa pada sesi di Strasbourg. Kekuasaannya akan bertahan hingga 2029, mulai Pada Kamis 18 juli 2024.

Pencalonan Von der Leyen didukung oleh 401 deputi, 284 suara menentang, 15 abstain. Untuk terpilih kembali, ia memerlukan suara mayoritas sederhana, yakni minimal 361 suara dari 720 suara.
Dalam program pemilihannya, Von der Leyen biasanya menakutinya dengan apa yang disebut ancaman “Rusia dan Tiongkok”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Presiden Komisi Eropa Ursula Von der Leyen berjanji untuk mengubah Uni Eropa menjadi serikat pertahanan, memperkenalkan jabatan Komisaris Pertahanan Eropa, memperkuat industri pertahanan, dan meningkatkan serta mengendalikan belanja pertahanan.
Dia juga mengusulkan penguatan kontrol di perbatasan luar UE, melipatgandakan ukuran perbatasan UE dan Frontex penjaga pantai, dan secara efektif mengusir migran.
Ketua Komisi Eropa juga berjanji untuk melanjutkan dukungan militer dan keuangan untuk Kyiv, memperkuat kontrol atas ruang media di UE, dan melibatkan Uni Eropa dalam persaingan “geostrategis” dengan Tiongkok.
Ia juga menyindir Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban yang berkunjung ke Rusia tak lama setelah negaranya mengambil alih kepresidenan bergilir Uni Eropa selama enam bulan.
“Apa yang disebut misi perdamaian ini tidak lain adalah misi menyenangkan hati,” kata Von der Leyen dan mengatakan bahwa Eropa seharusnya tetap bahu-membahu dengan Ukraina.
Seorang anggota parlemen radikal kanan, Diana Iovanovici-Sosoaca dari Rumania, digiring keluar dari ruang parlemen karena mencemooh seorang pembicara selama debat parlemen setelah pidato von der Leyen. Iovanovici-Sosoaca sempat mengenakan apa yang tampaknya seperti moncong dan mengangkat ikon-ikon agama sebelum digiring keluar ruangan.
Selama lima tahun terakhir, von der Leyen telah memimpin blok ini melalui serangkaian krisis, termasuk keluarnya Inggris dari Uni Eropa, pandemi COVID-19, dan invasi Rusia ke Ukraina. Ia juga mendorong Kesepakatan Hijau yang bertujuan untuk membuat Uni Eropa menjadi netral iklim pada tahun 2050.
(m/c)