Jakarta, Mercinews.com – Partai Persatuan Pembangunan (PPP) gagal melaju ke Senayan karena tidak memenuhi ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4%.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), PPP hanya memperoleh suara 5.878.777 atau 3,873% pada pemilihan umum 2024.
Tidak lolosnya PPP ke Senayan menjadi ironi bagi partai berlambang Ka’bah tersebut. Sebab, jika disandingkan dengan partai-partai lain, PPP sudah jauh lebih lama berkecimpung di dunia politik Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
PPP merupakan partai yang dibentuk di masa Orde Baru sebagai bagian kebijakan fusi partai. Fusi partai adalah ide Presiden Soeharto untuk merampingkan partai-partai yang punya satu ideologis serupa.
Merujuk pada website resmi, PPP merupakan salah satu partai politik di Indonesia. PPP didirikan pada tanggal 5 Januari 1973 yang merupakan hasil Fusi atau gabungan dari empat partai berbasis Islam yakni Partai Nahdhatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti.
Partai ini dipelopori oleh KH Idham Chalid (Ketua Umum PB NU), H.Mohammad Syafaat Mintaredja (Ketua Umum Parmusi), SH, Haji Anwar Tjokroaminoto ( Ketua Umum PSII), Haji Rusli Halil (Ketua Umum Perti), dan Haji Mayskur (Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di DPR). Dengan hasil gabungan dari partai-partai besar berbasis Islam, maka PPP telah memproklamirkan diri sebagai “Rumah Besar Umat Islam”.
Sejak berkuasa, Presiden Soeharto memang tak ingin ada banyak partai di Indonesia. Dia belajar dari era demokrasi terpimpin masa Soekarno saat keberadaan banyak partai terbukti tidak efektif. Saat itu, partai-partai yang ada malah saling menjatuhkan satu sama lain, sehingga stabilitas politik terganggu dan kebijakan negara tak terwujud.
Alhasil, Soeharto ogah masalah itu terjadi saat dia berkuasa. Maka, lahirlah ide fusi atau penyederhanaan partai.
Namun, ide tersebut tak langsung terwujud saat Soeharto berkuasa. Pada Pemilu pertama Orde Baru tahun 1971, semua partai apapun ideologinya masih bertanding. KPU pun menetapkan organisasi masyarakat, Golongan Karya (Golkar), memenangi Pemilu.
Dalam perspektif pemerintah, kemenangan Golkar bukan berarti situasi bakal aman. Pasalnya, menurut Andre Feillard dalam NU vis a vis Negara (1999), di Senayan bakal ada banyak partai lain yang bisa mengganggu jalannya pemerintahan.
Atas dasar ini, pemerintah melakukan intervensi kepada partai-partai, termasuk partai Islam yang eksis sejak masa Soekarno dan mewakili kelompok Islam, antara lain:
Intervensi tersebut berupa ikut campur pemerintah mengatur sosok ketua umum partai dalam pemilihan terbuka. Pemerintah menempatkan orang kepercayaan untuk mensukseskan langkah fusi partai.
Singkat cerita, hasil dari intervensi itu sukses menggabungkan partai-partai Islam tersebut menjadi satu wadah bernama Kelompok Persatuan Pembangunan pada Oktober 1972. Penamaan ini juga diatur oleh Soeharto yang tak ingin kelompok partai Islam menggunakan nama “Islamis.”
Kelompok Persatuan Pembangunan itulah yang kelak berubah jadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 5 Januari 1973. Selama Orde Baru berkuasa, PPP menjadi pilihan politik para tokoh Islam dan pendukungnya.
Selain PPP, kelompok lain yang terdampak fusi adalah golongan partai nasionalis, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) serta Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Mereka bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Beranjak dari sini, PDI, PPP dan Golongan Karya saling berebut suara di tiap pemilu Orde Baru. Tentu, kita mengetahui selama berulangkali Pemilu terselenggara, tetap saja pemenangnya Golkar, disusul PPP dan PDI.
Baca: Rekapitulasi KPU:11 Caleg dengan Suara Tertinggi, Said Kalahkan Puan
Di era reformasi, suara PPP juga harus berjuang dengan sengit karena ketatnya persaingan antar partai. Suara PPP terus turun dari 11,33 juta pada pemilu 1999 atau 10,71% menjadi 6,32 juta pada pemilu 2019 atau 4,52%.
Banyaknya partai baru serta pergeseran ideologi dan tren elektoral membuat suara PPP turun. Puncaknya adalah pada 2024 di mana PPP tidak lolos ke parlemen karena suaranya di bawah threshold yang ditentukan.
[]