Banda Aceh, Mercinews.com – Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al Haythar menyerahkan sebanyak 5000 data kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Aceh kepada Pemerintah Pusat melalui Menkopolhukam Mahfud MD, Kamis, 2 Maret 2023.
Data tersebut bersumber dari rekapitulasi investigasi yang telah dimbil pernyataan langsung oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.
“Ini merupakan pertemuan yang ke-dua Wali Nanggroe dengan Menkopolhukam pasca pengakuan Presiden terhadap tiga kasus pelanggaran HAM berat yang diumumkan di Istana Negara, 11 Januari lalu,” kata Kabag Humas dan Kerjasama Wali Nanggroe, M. Nasir Syamaun, di Banda Aceh pada Jum’at, 3 Maret 2023.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada pertemuan dengan Menkopolhukam kali ini, Wali Nanggroe didamping Ketua DPRA Saiful Bahri, Ketua Komisi Kebeneran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Masthur Yahya didampingi Yuliati, Staf Khusus Wali Nanggroe, Kamaruddin Abu Bakar atau Abu Razak, Teuku Kamaruzzaman atau Ampon Man, dan DR. M. Raviq.
“Kita minta segera ada tindaklanjut dari negara terhadap tiga kasus yang telah ada pengakuan dari Presiden, dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang terjadi di Aceh di masa lalu,” kata M. Nasir.
Kata dia, masih ada banyak lagi kasus-kasus yang sedang dikumpulkan datanya oleh KKR. Kemudian ada kasus pelanggaran HAM lain pascadamai, misalnya kasus pembantaian di Atu Lintang, Takengon.
Kepada Mahfud MD, Wali Nanggroe menceritakan, pasca kasus Atu Lintang terjadi, ia turun langsung ke lapangan untuk meredam suasana yang semakin memanas.
“Alhamdulillah, meskipun suasana di lapangan saat itu sangat panas, kita masih bisa mempertahankan perdamaian Aceh,” kata M. Nasir menirukan pengakuan Wali Nanggroe kepada Mahfud MD.
Wali Nanggroe, kata M. Nasir mengaku sangat komit dengan perdamaian Aceh, dan diharapkan Pemerintah Pusat komit dengan apa yang telah diatur dalam MoU Helsinki dan UUPA.
Pada kesempatan itu, Ketua DPRA Pon Yahya juga menyerahkan surat tembusan DPRA kepada Presiden, terkait program penguatan perdamaian Aceh, khususnya poin 3.2.5 MoU Helsinki, yang diantaranya memuat alokasi tanah bagi para mantan kombatan GAM, dan alokasi tanah, pekerjaan serta jaminan sosial bagi tapol/napol GAM.
Sementara itu, Abu Razak yang merupakan mantan Panglima Operasi GAM semasa konflik menyampaikan, pihaknya tetap komit dengan perdamaian. Selama ini, pihaknya terus berupaya menjaga stabilitas 50 ribu mantan kombatan GAM di lapangan.
“Dan itu (menjaga stabilitas mantan kombatan GAM) bukan perkara mudah,” kata Abu Razak. Hingga saat ini, tambah Abu Razak, pihaknya terus mendapat desakan-desakan di lapangan, terkait implementasi secara menyeluruh butir-butir perjanjian damai Aceh, dan pasal-pasal dalam UUPA.
Bahkan, karena implementasi perdamaian Aceh tidak tuntas meskipun telah memasuki usia 17 tahun, pihaknya mendapat banyak tuduhan dari para mantan kombatan GAM.
“Kami minta agar poin-poin MoU Helsinki harus segera diselesaikan. Kami terus mendapat tekanan dari lapangan,” kata Abu Razak.
Selain itu, juga ada tanggungjawab lain yang harus dirawat, yaitu anak-anak korban konflik yang saat ini telah beranjak dewasa, yang ingin menempuh pendidikan, atau yang sedang menempuh pendidikan. “Mereka juga bertanya kepada kami tentang keberlanjutan perdamaian seperti yang tertuang dalam MoU Helsinki dan UUPA,” katanya.
Sementara terkait regulasi-regulasi mengenai kekhususan dan keistimewaan Aceh, kepada Mahfud MD, disampaikan bahwa tidak semua kementerian memahami kewenangan Aceh.
Misalnya, mengenai Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang perizinannya harus ke Kementerian, padahal sudah diatur jelas dalam UUPA bahwa itu merupakan kewenangan Aceh.
Menanggapi penyampaian dari delegasi Aceh, Mahfud MD mengaku akan mengakomodir semua laporan-laporan yang disampaikan, dan menjadi catatan bagi dirinya sebagai Menkopolhukam, untuk kemudian segera melapor kepada Presiden Jokowi. (M/c)