Reformasi Polri: Mungkinkah Kapolri Bukan Polisi Karier?

Rabu, 12 November 2025 - 10:58 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

M. Yuntri, S.H., M.H.(Foto: istimewa)

M. Yuntri, S.H., M.H.(Foto: istimewa)

“Gagasan bahwa Kapolri kelak bisa berasal dari luar jalur karier kepolisian mungkin terdengar radikal, tetapi sejarah reformasi membuktikan bahwa setiap perubahan besar dimulai dari keberanian untuk berbeda.”

Oleh: Muhammad Yuntri, S.H., M.H.

Dua puluh lima tahun pascareformasi, Polri masih berada di persimpangan antara idealisme dan realitas. Nilai-nilai militeristik, sistem kepangkatan feodal, dan orientasi kekuasaan masih membayangi lembaga yang seharusnya bersifat sipil ini. Reformasi Polri sejati menuntut reposisi struktural, kultural, dan moral menempatkan Polri sebagai bagian integral dari sistem peradilan, membuka pengawasan independen, membersihkan diri dari bisnis gelap, dan menegakkan meritokrasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bahkan, gagasan bahwa Kapolri kelak bisa berasal dari luar polisi karier bukanlah utopia, melainkan langkah berani untuk mengembalikan Polri pada jati dirinya pelayan rakyat, bukan pelindung kekuasaan.

Kembali ke Mandat: Pelindung dan Pelayan Masyarakat

Konstitusi menempatkan Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, bukan penguasa di tengah masyarakat. Namun, dalam praktik, wajah Polri masih sering tampil represif dan kaku. Banyak kasus menunjukkan bahwa orientasi pelayanan belum menjadi roh utama. Polisi ideal bukanlah yang ditakuti masyarakat, melainkan yang dipercaya dan dibutuhkan masyarakat.

Reformasi Polri harus dimulai dengan mengembalikan fungsi dasarnya yakni menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) sebagai tanggung jawab sosial, bukan alat kekuasaan.

Tinggalkan Nilai-nilai Militeristik dan Reformasi Sistem Rekrutmen

Baca Juga:  Integritas ASN Kejaksaan: Landasan Utama Membangun Keputusan Publik

Walau secara formal lembaga sipil, Polri masih diwarnai nilai-nilai militeristik dalam kepemimpinan, kepangkatan, dan rekrutmen. Sistem kepolisian yang berbasis komando vertikal cenderung menumbuhkan budaya takut, bukan tanggung jawab.

Sementara itu, sistem rekrutmen yang belum sepenuhnya transparan masih membuka ruang bagi nepotisme dan jual beli jabatan. Reformasi kultural menuntut perubahan besar, hilangkan glorifikasi senjata dan pangkat, ubah orientasi menjadi profesionalisme dan integritas.

Pemimpin dari luar struktur karier kepolisian misalnya dari kalangan hukum, akademisi, atau profesional publik  bisa menjadi katalis perubahan, menghadirkan perspektif baru dalam manajemen penegakan hukum yang lebih demokratis dan empatik.

Polri sebagai Bagian Integral dari Kekuasaan Judikatif

Selama ini, Polri berada di bawah Presiden (eksekutif) tetapi menjalankan fungsi penegakan hukum yang seharusnya independen dan lebih dekat dengan kekuasaan yudikatif. Kondisi ini menciptakan dilema struktural: ketika kasus menyangkut kekuasaan politik atau pejabat negara, independensi penyidikan mudah tergerus.

Untuk menegakkan supremasi hukum yang sejati, Polri perlu direposisi sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang independen dan tidak tunduk pada kepentingan politik. Penyidik seharusnya tunduk pada hukum dan nurani keadilan, bukan pada arahan kekuasaan.

Revisi UU Polri dan KUHAP dengan Semangat Reformasi

Dua regulasi utama, yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sudah ketinggalan zaman. Reformasi hukum kepolisian harus memuat:

Baca Juga:  Konvergensi Media Bukan Lagi Pilihan, tapi Keharusan

1. Penegasan posisi Polri sebagai lembaga hukum independen;

2. Penghormatan terhadap asas praduga tak bersalah;

3. Pembatasan kewenangan koersif dan penggunaan senjata api;

4. Transparansi penyidikan serta pengawasan publik terhadap tindakan aparat; dan

5. Mekanisme pengaduan masyarakat yang cepat dan responsif.

Pengawasan Independen dan Transparansi Anggaran

Pengawasan internal seperti Propam dan Itwasum sering tidak cukup kuat karena berbenturan dengan loyalitas korps. Untuk memastikan profesionalisme, Polri perlu pengawas eksternal independen yang bekerja secara transparan dan objektif.

Lembaga ini tidak hanya menilai kinerja penyidikan, tetapi juga mengawasi anggaran dan sumber dana agar seluruh pembiayaan Polri hanya bersumber dari negara. Transparansi anggaran akan menutup ruang bagi pungutan liar, proyek bayangan, serta ketergantungan pada dana tidak resmi yang rentan melahirkan korupsi.

Polri Bukan Pelindung Bisnis Gelap

Reformasi Polri tidak akan berarti jika masih ada oknum yang menjadi pelindung bagi narkoba, prostitusi, dan judi. Tiga sektor gelap ini telah lama menjadi penyakit sosial yang menciptakan ekonomi bawah tanah dan memperkaya sebagian oknum aparat.

Dari sinilah muncul istilah rekening gendut di tubuh Polri simbol ironi bahwa sebagian polisi bisa jauh lebih kaya daripada pejabat negara lain tanpa penjelasan yang sah dari gaji resmi. Reformasi sejati menuntut ketegasan bahwa Polri tidak boleh menjadi pelindung kejahatan, baik secara langsung maupun melalui pembiaran.

Baca Juga:  Peran Perusahaan Pers dalam Menciptakan Dunia Jurnalistik yang Sehat

Transparansi kekayaan pejabat Polri, audit publik, dan sanksi pidana yang tegas harus menjadi agenda utama.

Prestasi, Bukan Kedekatan

Sistem karier di tubuh Polri perlu dirombak menjadi berbasis prestasi, bukan kedekatan atau loyalitas pribadi. Kenaikan pangkat dan fasilitas harus diukur melalui kinerja dan integritas. Sistem reward and punishment yang adil akan menciptakan motivasi profesional dan menghapus stigma bahwa jabatan adalah hasil setoran atau loyalitas.

Reformasi Polri bukan hanya soal mengganti seragam atau jabatan, tetapi soal mengubah cara berpikir. Masyarakat membutuhkan polisi yang hadir untuk keadilan, bukan untuk kekuasaan.

Gagasan bahwa Kapolri kelak bisa berasal dari luar jalur karier kepolisian mungkin terdengar radikal, tetapi sejarah reformasi membuktikan bahwa setiap perubahan besar dimulai dari keberanian untuk berbeda.

Ketika hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, ketika Polri berdiri tegak di atas kejujuran dan nurani, saat itulah rakyat akan percaya kembali. Dan mungkin, hanya mungkin, Reformasi Polri benar-benar dimulai dari situ.

*Muhammad Yuntri, S.H., M.H., adalah advokat dan pemerhati reformasi kelembagaan hukum. Berdomisili di Jakarta Timur, ia aktif menulis serta memberikan pandangan kritis mengenai transformasi hukum dan tata kelola pemerintahan


Disclaimer: Opini dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili lembaga atau pihak mana pun.

Berita Terkait

Smart Governance, Sebuah Keniscayaan untuk Indonesia
Audit Konstitusional Proyek KCIC: Membangun atau Menjerat Kedaulatan Ekonomi?
Transaksi Kendaraan Bekas Kena PPN, Begini Cara Menghitungnya
Mengutip Tak Lagi Gratis: Menuju Era Royalti Karya Jurnalistik
Pajak Instansi Pemerintah, Hal Krusial yang Wajib Bendahara Kuasai
Integritas ASN Kejaksaan: Landasan Utama Membangun Keputusan Publik
Presiden Prabowo Mengembalikan Peran Aktif Indonesia di Fora Internasional
Mengenal Strategi Criminal, Warfare dari Mafia Kejahatan Dunia

Berita Terkait

Rabu, 12 November 2025 - 10:58 WIB

Reformasi Polri: Mungkinkah Kapolri Bukan Polisi Karier?

Selasa, 11 November 2025 - 09:47 WIB

Smart Governance, Sebuah Keniscayaan untuk Indonesia

Kamis, 23 Oktober 2025 - 09:51 WIB

Audit Konstitusional Proyek KCIC: Membangun atau Menjerat Kedaulatan Ekonomi?

Senin, 13 Oktober 2025 - 19:46 WIB

Transaksi Kendaraan Bekas Kena PPN, Begini Cara Menghitungnya

Jumat, 10 Oktober 2025 - 11:15 WIB

Mengutip Tak Lagi Gratis: Menuju Era Royalti Karya Jurnalistik

Berita Terbaru

M. Harry Mulya Zein (Foto:istimewa)

Opini

Smart Governance, Sebuah Keniscayaan untuk Indonesia

Selasa, 11 Nov 2025 - 09:47 WIB